Minggu, 20 April 2008

UU Perbankan Syariah, Tuntutan dari Pesatnya Akselerasi Perbankan dan Industri Keuangan Syariah

Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia telah memasuki babak baru, terutama dalam praktek perbankan dan lembaga keuangannya. Pertumbuhan industri perbankan syariah telah bertranformasi dari hanya sekedar memperkenalkan suatu alternatif praktik perbankan syariah menjadi bagaimana bank syariah menempatkan posisinya sebagai pemain utama dalam percaturan ekonomi di tanah air. Bank syariah memiliki potensi besar untuk menjadi pilihan utama dan pertama bagi nasabah dalam pilihan transaksi mereka. Di Indonesia, terbukti pada saat krisis moneter terjadi, banyak bank-bank konvensional yang bangkrut namun bank syariah mampu bertahan. Fakta ini menujukkan menunjukkan bahwa ekonomi syariah merupakan sebuah solusi.

Hal lain juga menunjukkan bahwa akselerasi pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah di Indonesia, setelah diakomodasinya Bank Syariah pada Undang-Undang Perbankan No. 10/1998, dari tahun 2000 hingga tahun 2004, ternyata pertumbuhan Bank Syariah cukup tinggi, rata-rata lebih dari 50% setiap tahunnya. Bahkan pada tahun 2003 dan 2004, pertumbuhan Bank Syariah melebihi 90% dari tahun-tahun sebelumnya. Akan tetapi, pada tahun 2005, dirasakan ada perlambatan, meskipun tetap tumbuh sebesar 37%. Akan tetapi, walaupun dirasakan pertumbuhan Bank Syariah di Indonesia melambat pada tahun 2005, sebenarnya pertumbuhan sebesar itu merupakan prestasi yang cukup baik. Perlu disadari, bahwa di tengah tekanan yang cukup berat terhadap stabilitas makroekonomi secara umum dan perbankan secara khusus, kondisi industri perbankan syariah tetap memperlihatkan peningkatan kinerja yang relatif baik. Di samping itu, dapat pula difahami, bahwa meskipun share bank syariah pada akhir tahun 2005 baru 1,46%, namun hal tersebut telah menunjukkan peningkatan yang luar biasa dibandingkan share pada tahun 1999 yang hanya 0,11%. Pendapat lain seperti yang diungkapkan oleh A Riawan Amin menjelaskan bila share bank syariah membesar, katakanlah, hingga 50 persen dari total aset perbankan, maka yang akan terjadi adalah:

Pertama, beban BI turun hampir setengahnya dari Rp 15,67 triliun (SBI sebanyak Rp 15,61 triliun dan SWBI sebanyak Rp 60 miliar) menjadi Rp 9,64 triliun (SBI sebanyak Rp 7,81 triliun dan SWBI sebanyak Rp 1,84 triliun).

Kedua, ekspansi kredit atau pembiayaan juga semakin membesar. Dengan kata lain, ada volume tambahan kucuran kredit sebesar Rp 243,38 triliun atau kenaikan pembiayaan 32,5 persen, terutama untuk bidang produktif sebagaimana disyariatkan.

Ketiga, dengan perkiraan yang sama, jumlah kredit macet juga semakin bisa ditekan sehingga risiko yang harus ditanggung bank, lembaga simpanan, pemerintah dan masyarakat, semakin minim.

Bagaimana Perkembangannya?

Perkembangan Industri keuangan dan perbankan syariah di Indonesia sangat pesat, kondisi ini tentunya menuntut adanya peraturan perundang-undangan yang memadai juga semakin tinggi. Tuntutan ini muncul dari investor potensial dari berbagai negara, di mana pengelola atau pemilik dana hanya mau menyalurkan dananya sesuai kaidah-kaidah syariah. Sehingga dari kesimpulan rapat kerja (raker) Komisi XI DPR dan pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Agama Maftuh Basyuni di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (29/1/2008). DPR dan pemerintah sepakat melakukan pembahasan RUU Bank Syariah dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk dalam Panitia Kerja (Panja). Data menunjukkan sepanjang 2007, aset perbankan syariah tumbuh tiga puluh persen dan hingga kini telah mencapai nilai sekitar tiga puluh triliun. Namun dalam tersebut, Fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS) menyatakan menolak ikut dalam melakukan pembahasan RUU Perbankan Syariah dan SBSN. "Karena nyata-nyata didasarkan pada syariah agama tertentu," tutur Retna Situmorang dari PDS. FPDS menilai hal itu akan mengancamkeutuhan NKRI dan tidak akan membawa bangsa ini menjadi sejahtera dan maju. Meski ada penolakan dari Fraksi Partai Damai Sejahtera, pembahasan RUU sukuk dan UU perbankan syariah tetap dilanjutkan. Pembahasan panitia kerja akan dimulai pada 11 dan 12 Februari. Mantan Anggota Pansus RUU Perbankan Syariah Nursanita Nasution dari F PKS menanggapi penolakan Anggota FPDS yang menganggap RUU itu lebih menguntungkan agama Islam saja memperkirakan bahwa itu terjadi karena pada sisi kekurang pahaman saja, akan ke mana arah UU tersebut. Nursanita juga mengatakan , “Saya kira sangat tidak tepat sekali, kalau mereka mengatakan ini atas dasar agama, menjadi dasar kecurigaan mereka. Pada sisi lain Nursanita juga mengakui, mandeknya pembahasan RUU Perbankan Syariah di DPR selama tiga tahun, selain karena jadwal Komisi yang padat, dan lebih mementingkan RUU Pajak yang terdiri dari tiga paket, juga disebabkan karena banyak anggota DPR yang belum mengerti tentang perbankan syariah"Istilah-istilah itu teks time membahasnya, mereka ingin tahu secara detail sehingga kaya kuliah saja, "tukasnya yang kini duduk di Komisi VI DPR.

Dalam pandangan Nursanita, proses pembahasan RUU di DPR itu sangat lambat, apabila mitranya dalam tanda kutip memberikan service kepada anggota DPR. Ia menjelaskan, meski masih terdapat ganjalan-ganjalan, pembahasan RUU Perbankan Syariah masih terus dilanjutkan. Dan saat ini, pembahasannya baru lima puluh persen diselesaikan. "Saya optimis, harus masa sidang ini sudah selesai, tapi kecuali sudut pandang mereka secara teknis berbeda saya tidak terlalu suka. Menurut saya sangat memperihatinkan kalau pembahasan RUU tergantung fasilitas yang diberikan oleh mitranya, "tegasnya. Ia menjelaskan, tiga poin bersifat teknis yang krusial, antara lain terkait dengan Dewan Pengawas Perbankan, yang harus ada kaitannya dengan Dewan Syariah Nasional (DSN), serta masalah komisaris apakah harus berdiri sendiri, atau ada hubungan dengan syariah.

1 komentar:

Dessy Eka Pratiwi mengatakan...

Semoga ini semua bisa jadi perkembangan Ekonomi Syariah Indonesia yang lebih baik.