Rabu, 04 Juni 2008

LPEI HARUS UTAMAKAN UMKM

Press Release

LPEI HARUS UTAMAKAN UMKM

Angka pengangguran secara nasional lebih dari 9 juta jiwa dari total angkatan kerja. Sebagai salah cara mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan, adalah dengan mengandalkan sektor UKM, karena dengan jumlah UKM sebanyak 44 juta unit, diharapkan dapat menyerap tenaga kerja hampir 77 juta jiwa atau sekitar 70 persen dari total angkatan kerja. Persentase jumlah usaha kecil dan menengah (UKM) terhadap jumlah badan usaha di Indonesia sangat besar, yaitu sekitar 99 persen. Namun kenyataannya berdasarkan data tahun 2006, pertumbuhan jumlah sektor UKM mengalami penurunan, yang hanya 3,88 persen, jika dibandingkan dengan pertumbuhan usaha besar, 5,77 persen.

Kondisi seperti ini sebenarnya sangat memprihatinkan mengingat sektor UKM memiliki potensi penyerapan tenaga kerja yang sangat besar. Lalu apa yang harusnya dilakukan untuk pengembangan UKM di Indonesia, menjadi sebuah pertanyaan dan harus ditemukan solusinya. Sebuah Usaha tentunya memerlukan
permodalan yang baik dan memadai. Hal ini pula yang berlaku pada UKM. Komposisi modal UKM biasanya didominasi oleh modal sendiri atau pribadi, dengan jumlah terbatas. Dalam rangka pengembangan bisnis dan pangsa pasar, termasuk untuk ekspor, UKM jelas membutuhkan pembiayaan yang relatif besar.

Di sinilah salah satu permasalahan utama, mengapa UKM sangat sulit berkembang menjadi usaha besar, karena terganjal permasalahan pembiayaan. Khusun untuk pembiayaan ekspor ternyata bank yang merupakan salah satu lembaga dimana UKM, bisa mendapatkan kredit perbankan ataupun suntikan dana, ternyata dalam prakteknya lebih tertarik membiayai kredit konsumsi dibanding kredit ekspor. Untuk kredit konsumsi, bank memberikan suku bunga 17%. Sedangkan, suku bunga kredit kepada eksportir hanya 12%-13%, akhirnya bank lebih senang memberikan pembiayaan kartu kredit, dan ini juga berlaku hampir semua bank.. Akhirnya, eksportir lebih banyak mendapatkan sumber dana nonpembiayaan., Berkaitan dengan ekspor dan impor, dalam kondisi perbankan tidak bisa optimal memberikan pembiayaan, idealnya harus ada lembaga lain yang fokus dalam pembiayaan ekspor. Praktiknya, sekarang, bank tidak memberikan kredit investasi, juga tidak memberikan kredit ekspor. Keminiman dukungan pembiayaan terhadap kegiatan ekspor menjadikan ekspor belum optimal. Perbankan yang diharapkan dapat berada pada garis terdepan dalam mendukung ekspor ternyata belum optimal menyokong kegiatan ekspor, padahal, tanpa dukungan lembaga perbankan, sulit bagi para pelaku ekspor memperoleh fasilitas pembiayaan, penjaminan, dan asuransi dalam kegiatan ekspor. Data menunjukkan dari total kredit perbankan di Indonesia yang sekitar Rp1.000 triliun per Oktober 2007, ternyata hanya sekitar Rp30 triliun yang ditujukan untuk mendukung kegiatan ekspor. Kredit ekspor hanya menempati urutan ketiga setelah kredit modal kerja dan kredit konsumsi. Kondisi inilah sebenarnya yang menuntut adanya kehadiran Lembaga pembiayaan ekspor Indonesia (LPEI) menjadi elemen yang mutlak diperlukan bila hendak mengembangkan investasi dan ekspor Indonesia, khususnya bagi sector Usaha Mikro Kecil Menengah, yang seringkali memiliki akses yang terbatas terhadap modal ekspor. Lembaga ini nantinya tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pemberi bantuan dana yang mengkhususkan diri pada industri dan perdagangan ekspor, namun juga memberikan dukungan terhadap pembiayaan bersama (club-deal/sindikasi), subordinated loans, penjamin dan atau asuransi serta jasa konsultasi (termasuk studi dan penilaian proyek-proyek industri ekspor). Untuk dapat berperan dan berfungsi secara efektif, LPEI perlu beroperasi berdasarkan undang-undang tersendiri dengan status sebagai lembaga otonomi pemerintah (autonomous sovereign entity). Pembahasan UU LPEI menjadi hal yang mendesak untuk segera diselesaikan. Ada beberapa hal yang menjadi yang krusial terkait dengan LPEI ini, yakni diharapkan bahwa LPEI ini nantinya tidak merusak atau mengambil alih mekanisme pembiayaan ekspor yang sudah ada, tetapi juga justru melengkapi; adanya transparansi pada level implementasinya, memiliki kemandirian dan tidak membebani APBN, dan yang paling penting juga adalah bahwa LPEI harus memprioritaskan UMKM, artinya Pembiayaan diberikan sekurang-kurangnya 50% untuk UMKM dalam bentuk modal kerja dan/atau investasi yang diperuntukkan bagi kegiatan ekspor

DR. Nursanita Nasution, ME

Anggota DPR-RI Komisi VI

Email : nursanita252 @yahoo.com HP 08129699264

Sabtu, 24 Mei 2008

Mentri Perdagangan Jangan Cuma Minta Dipahami,

Press Rilis
Kenaikkan Harga BBM :
Mentri Perdagangan Jangan Cuma Minta Dipahami,
Tapi Harus Bekerja Lebih Sigap Lagi

Dalam sebuah iklan TV yang dirilis pemerintah, beberapa orang menteri salah satunya Mentri Perdagangan Marie Elka Pangestu- memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM. Dalam iklan tersebut Marie mengatakan betapa sulitnya menjaga harga-harga agar tidak naik. “I wish harga-harga tidak naik tapi saya kan tidak dapat menahan harga-harga supaya tidak naik”. Pernyataan ketidakberdayaan ini sangat disayangkan keluar dari seorang mentri. Mengapa? Karena sebagai pejabat public segenap kewenangan untuk membuat sejumlah kebijakan ada dalam genggamannya. Dan dia bisa memainkan berbagai instrument itu untuk membela kepentingan rakyat.
Jum’at malam 23/5/08 Pemerintah resmi mengumumkan kenaikkan BBM sebesar rata-rata 28,7%. Bagaimanapun kenaikkan harga BBM ini sangat memberatkan rakyat. Kita semua mengamati dengan perasaan was-was efek domino yang ditimbulkan oleh kenaikkan BBM. Biaya transportasi yang naik menyebabkan harga kebutuhan hidup meningkat sementara penghasilan rakyat tidak mengalami peningkatan. Kita berharap tidak terjadi ekskalasi emosi social yang berujung pada kerusuhan.
Untuk itu seluruh jajaran pemerintah harus benar-benar menunjukkan itikad untuk bekerja keras membela rakyat. Mulai hari ini kita tidak ingin mendengar ada menteri yang meminta untuk dipahami apalagi berkeluh kesah di hadapan rakyatnya. Karena rakyat sudah cukup susah Sebaliknya dia harus sigap mengantisipasi berbagai keadaan. Sebagai Menteri Perdagangan dalam kondisi krisis seperti ini Marie harus memastikan distribusi sembilan bahan pokok harus lancer. Operasi pasar segera digelar, spekulan harus ditindak tegas. Untuk itu Mendag harus aktif berkoordinasi dengan Menko, para menteri, Bulog, kepala dinas, kepolisian dan pejabat terkait.lainnya. Hotline harus dibuka setiap saat. Jangan ada lagi antrian panjang yang berpotensi menyulut emosi rakyat, apalagi sampai jatuh korban .
Dia juga harus menjamin pasar tetap kondusif sebagai sentra perdagangan yang aman dan menggairahkan. Membuat berbagai terobosan yang dapat memperluas pasar ekspor. Dia harus berkomitmen memangkas anggaran pejabat di lingkungan departemen perdagangan. Stop fasilitas perjalanan dinas yang tidak efektif. Ketika rakyat telah dipaksa untuk berkorban dengan membayar mahal kebutuhan hidup. pejabat seharusnya lebih malu bila tidak bekerja secara maksimal. Setiap saat Mendag harus memvisualisasi ada jutaan mulut menganga menanti makanan setiap harinya menanti kerja cerdasnya .

DR. Nursanita Nasution, ME
Anggota DPR-RI Komisi VI
Email : nursanita252 @yahoo.com HP 08129699264

Rabu, 14 Mei 2008

RUU Susduk Dituntaskan Tahun Ini

Suara Karya Online

Sabtu, 26 April 2008


GORONTALO - Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan (RUU Susduk) DPR menyatakan bahwa perubahan UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Susduk tersebut akan segera dituntaskan pada tahun ini.

"Kami sudah mendengarkan berbagai masukan dari pakar, LSM, pemda, DPRD, dan mengunjungi 11 provinsi untuk menuntaskan pembahasan RUU Susduk," kata salah seorang anggota Pansus RUU Susduk DPR, Nursarita Nasution, di Gorontalo, kemarin.

Ia menyebutkan, setiap fraksi sudah harus menyerahkan daftar isian masalah (DIM) kepada pansus paling lambat 2 Mei 2008, sehingga pasa masa sidang berikutnya pembahasan RUU selesai.

Lebih lanjut ia, seperti dikutip Antara, mengatakan, penyempurnaan UU Susduk kali ini berlangsung luas, meliputi keberadaan kesektariatan, pergantian antarwaktu, serta hubungan antara MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Rancangan yang terdiri dari 13 bab dan 131 pasal tersebut rencananya juga akan mengakomodasi masalah sanksi yang akan diberikan bagi yang melanggar aturan. Ia menambahkan, setelah amandemen konstitusi dan diberlakukannya beberapa paket UU di bidang politik yang sangat mendukung keterbukaan saat ini, pendulum politik telah bergeser di tangan lembaga legislatif.

"Kecenderungan itu menimbulkan kesan bahwa pemerintah tak lagi mudah atau sepihak memberlakukan suatu kebijakan tanpa pertimbangan dan persetujuan dari parlemen," katanya.

Akibatnya, tutur dia, eksekutif terkesan menjadi lemah posisinya dalam menjalankan berbagai program kerja, sementara di sisi lain presiden dan kepala daerah memiliki mandat legitimasi politik yang sangat kuat karena dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu atau pilkada.

Selain itu, RUU Susduk tersebut juga akan mengangkat keterwakilan perempuan, seperti halnya dalam UU Partai Politik maupun UU Pemilu, sebagai penguatan demokrasi di lembaga-lembaga tersebut.

Sementara itu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan mengundang LSM dan perwakilan masyarakat di Gedung Parlemen, Jakarta, kemarin.

Dalam kesempatan itu, DPD membahas soal upaya mencegah kerusakan lingkungan dengan mengembalikan fungsi-fungsi penting alam bagi keselamatan kehidupan.

"Ketika tetangga meninggal karena kelaparan, berarti kita kehilangan kemampuan memulihkan syarat-syarat keselamatan," kata Koordinator Kampanye Perubahan Iklim di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Torry Kuswardoyo. Torry menjadi salah seorang narasumber RDPU Panitia Khusus (Pansus) Perubahan Iklim DPD yang dipimpin Wakil Ketua Pansus Abdul M Kilian di Ruang Rapat GBHN Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen, Jumat (25/4). (Rully/Yudhiarma)

Selasa, 29 April 2008

World Movement for Democracy

World Movement for Democracy

Skills Sharing and Capacity Building Workshop on

The International knowledge Network of Women in Politics (iKNOW Politics)

By Nursanita Nasution

Parliament Member of Indonesia Commission VI

(Trading, Industry, State-owned Enterprise, Investment,

Cooperative and Small and Medium Enterprises)

Prosperous and Justice Faction

Ms. Kristin, thank you for NDI invite me to be here and for your hospitality. I was born and work in Indonesia, but after today, I feel almost like a native Kyiv. Thank you all for making me feel at home.

Delegates, all participants, it is an honor for me to share my experiences this afternoon. I hope you have brilliant ideas to participate in politics.

Three decades of research in state legislatures, universities, and international public policy centers have proven beyond doubt that women, children, and men all benefits when women are in leadership. Because, in fact, women have important roles in the society: as child, wife, and mother. As the result I say that women in politics best help democracy deliver to the grass root of society.

However, women nowadays are still facing gender problems. The data showed terrible fact how women still became marginal class in many sectors: education, law protection, politics, economics, etc which the population 230 million people. In many developing countries, such as my country, Indonesia, cultural and structural problems are the main constraints for women’s improvement in public sectors.

So what we need now is a transformational structure and culture which could recondition women’s position in the society. Since we need appropriate public policy to realize it, woman must contribute in politics. Not only to lift our position in the society but also to increase quality life of women and to have better human life in the nation and world.

Strategic planning should be done. Women should accelerate themselves against structural and cultural problems which burden them. Women should build their own networks in all formal/non formal institutions: professional, academic, women’s NGOs, and parliament’s member.

Dear my all friends, for that reason, I suggest four important issues as follow.

The first, We strive to advocate women participation in politics through law. Nowadays Indonesia’s parliament has finished the process of the Law of Politic which determined minimum 30% women’s participation in political parties and the representativeness of women in Parliament.

I am one of The Founder of The Women’s Political Caucus of Indonesia or KPPI. It was established since 2001 as supported by NDI (initiator) which brings together by the women parliament activist from 17 parties and several women’s NGO. We discussed several sets of problems on how to increase the women’s participation in politics. The discussion sometimes evolved into an experiences sharing. We have set a programmatic visit to the leader party and convinced them that women have capability of being a candidate to be on Member Parliament.

When Parliament was arranging The Law of Politic 2003, the political caucus actively advocated and strived for 30% quotas of women in parliament.

I still remember the time when we were standing out on the balcony and campaigned our voices to the member of parliaments at plenary meeting. And it was worked successfully. We have got a General Election Bill which stated that 30% representatives of women must be candidates for The Parliament Member.

Indeed, in 2004, my party, The Prosperous and Justice Party (PKS) nominated 40% women from all the Election Candidates. They must campaign to be voted, as my district Jakarta, populated by 12 million, you must get 400,000 votes. As the result we have succeeded in increasing the amount of women parliament members from 1 member at 1999 to 73 members in 2004, even though at national level there were only three women members, of which I am one.

The Election 2004 resulted in 65 women out of 550 members of parliament or 11% participation (up from just 9% in the election 1999). Then we made The Women Parliament Caucus.

This Women Parliament Caucus built networking with The Ministry of Women Empowerment to have support and encouragement for women members so the representativeness of women could be further enhanced.

And we have got the results, as follow:

1. Political party law has stated that in every party offices or branches, there should be 30% women and it should be mentioned in the party by laws. They must at the central body lever and should at the lower levels of party office.

2. The newly-amended Election law now states that the party must nominate 30% of women candidates in every level. And it now also applies the zipper system in which there should be one woman’s name amongst every three candidate names. Parties that do not do so will have their names made by public by The Election Commission as a form of social sanction. There is another law states that members of the Election Committee and the Election Supervisory Body also must also have 30% of women as their staff. So we can control the representativeness of women in every process.

3. The other laws such as the law on the organization of the Parliament and the Presidential Election are currently being discussed, and I was one of the leader of special committees of this law. The target would be to also state about women representation in the parliamentary so that women can continue to fight even more effectively.

In 2003 we have minimum 30% quota in Parliament and nowadays we have and even better Election Law. The law assured that in every three parliament candidates should require at least one woman inside. Although the law had been settled we still face problem in building our capacity in politics and campaigning women’s quality in parliament.

The Second, we build women networks to informal women leader. For instance, women in Indonesia are traditionally influenced by religious-based community, called majelis ta’lim or family and neighborhood based community called arisan.

Majelis ta’lim usually consists of 30-50 women under a woman leader called ustadzah, who gives Islamic Lecture and is very trusted by women in certain households.

Arisan is an economic networking among housekeeping women. They collect their money regularly and draw for the winner to get the collected money by turns, allowing them to save. Women in Indonesia usually join several arisans and this culture has been grown in most of Indonesian society. This arisan also help us to save the money for women candidate to do her campaign.

We have been approaching these non-traditional, non-political community leaders and have been campaigning on how important it is for women to contribute in public sector especially in politics.

The Third, media networking is also needed.

We should publish our opinions and campaign publicly about our programs. People at large should know about the strategic issues about women and how the issues could be important for them and benefit all parts of our society.

The challenge is women face difficulty in communicating with media at large because they usually can’t maintain the issues and traditionally have had less skill and practice in developing relationships with media.

We know that media also responsible to deliver democracy. Instead of media women activists use hand phone to share info and communicate each other.

Fourth, We intensively work even harder now to do capacity building of women in Indonesia, especially young women in political parties, cadres, and women-leader in many sectors. The political party should think ahead with a system how to encourage young women in public participation especially in politics, in large part because there are enough women who has the capacity but small opportunity to get involved in public arena.

We also must publish our opinions and experiences related to women’s issues that will enhance women’s school of thought at large, to include the political experience.

In PKS, our party, we have a cascade system in which from the lowest system until the highest one, we have cadre management system for each level and every level has specified some structural tasks for each level. It is gender-focused and creates an elaborate system of support for women who engage in party life. I think a good leader must prepare for the next lader.

All participants, we realize that we are a small part of global world, and one thing important is that women’s problem in all over the world will appear similar in issues, problems, constrains and also relatively similar solution to be taken. I am really glad that I can have plenty and great opportunities to meet many part women activists from various of countries in the capacity building forum since 2004 until now, such as Southeast Asia Moslem Country orum (Pakistan, Bangladesh, Jordan, etc). In Jordan, I met woman activists from Iraq and in Afghanistan I met women parliament members. Those women are great because they can give their perspectives as the women from conflict areas.

We need to have large networking for sharing experiences and having international support to realize women’s improvement in our particular country for all sectors addressing issues.

iKNOWS has been facilitating this global networking and has been encouraging us to use our voices and achieve the transformation of women’s power in my country, Indonesia and all over the world.

All counterparts must work together, women must join hand by hand whatever their nations, religions, jobs, etc. We must respect all women whatever their job, even if they choice to be a full housewife.

Empowerment of women means that women care and find the best solution for every women issue. I believe if the quality life of women getting better, the man will be happy and Human Development Index for our nation will be better.

The better portrait of women in a country, the better the country will be.

Selasa, 22 April 2008

Pimpinan Pansus RUU Susduk Diganti

Sinar Harapan, 23 February 2008

JAKARTA- Rapat intern Panitia Khusus (Pansus) RUU Susduk yang dipimpin Wakil Ketua DPR Bidang Koordinator Politik, Ekonomi dan Keuangan (Polekku), Soetardjo Soerjoguritno, Jumat (22/2), telah berlangsung penggantian atas dua Pimpinan Pansus.

Kedua Pimpinan Pansus yang diganti, masing-masing Helmy Faisal Zaini dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dan M Nasir Jamil (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera). Penggantinya, masing-masing Masduki Baidlawi dan Nursanita Nasution.
Dengan demikian, susunan selengkapnya, Ketua Pansus RUU Susduk dijabat Ganjar Pranowo (Fraksi PDI Perjuangan), dengan wakil-wakil Ketua Idrus Marham (Fraksi Partai Golkar), Chozin Chumaidy (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan), Masduki Baidlawi, dan Nursanita Nasution. (ant/ady)

Senin, 21 April 2008

UU UMKM, Mampu Menghidupkan Sektor Riil

Pada saat terjadi krisis moneter pertengahan 1997, di mana para pengusaha besar dan BUMN tidak dapat bertahan menghadapinya, usaha kecil (dan sektor informal) mampu bertahan ditengah krisis tersebut dan bahkan berkembang.


Usaha kecil dan sektor informal telah menunjukkan eksistensinya dalam perekonomian nasional dengan pelbagai kontribusi, baik itu dari sisi makro maupun mikro. Dilihat dari kontribusi setiap tahunnya terhadap PDB, UMKM juga memperlihatkan prestasi yang lebih baik daripada Usaha Besar, di mana setiap tahunnya memiliki kontribusi tidak pernah kurang dari 50% total PDB. Pada tahun 1999-2000, UMKM sempat mengalami penurunan nilai terhadap PDB yaitu 58.88% ke 54.51%, hingga kemudian meningkat konstan dari 54,51% pada tahun 2000 menjadi 56,72% pada tahun 2003, baru kemudian mengalami penurunan lagi pada 2004-2006 hingga 53.28%.


Namun permasalahannya saat ini, UMKM terkonsentrasi pada sektor yang memiliki produktivitas yang rendah, seperti: pertanian, perdagangan dan industri rumah tangga. Ini menjelaskan mengapa meskipun kontribusinya terhadap PDB cukup besar, namun dilihat dari pembentukan nilai ekspor dan investasi nasional, UMKM masih kalah dari Usaha Besar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa UMKM meskipun memiliki potensi yang besar namun belum dapat terkembangkan dengan baik, sehingga kondisi ini memang menuntut perlunya UU UMKM.


Dengan UU ini nantinya maka diharapkan akan semakin jelas apa yang menjadi kriteria Usaha Mikro, Kecil, Menengah. Di samping itu juga akan sangat menentukan dalam upaya penumbuhan iklim usaha yang ada, karena telah memiliki payung hukumnya Selain itu juga akan menjelaskan bagaimana peranan pemerintah dalam pengembangan usahanya , baik dari aspek pembiayaaan dan penjaminan bagi UMKM.

Pemahaman Anggota DPR Sangat Minim

Sumber : Kompas Cyber Media
Tanggal : 11 Februari 2008


Yogyakarta, Kompas - Minimnya pemahaman yang dimiliki anggota DPR seputar ekonomi syariah membuat proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Perbankan Syariah berjalan lamban.

Pembahasan sering kali terjebak pada istilah-istilah perbankan syariah dan melupakan substansi persoalan yang sifatnya lebih mendasar.

Hal itu disampaikan anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nursanita Nasution, dalam seminar ”Ekonomi Syariah 2008”, yang merupakan rangkaian kegiatan Festival Ekonomi Syariah (FES) Bank Indonesia Yogyakarta, di Universitas Gadjah Mada, Sabtu (9/2).

Acara ini juga menghadirkan pembicara Dahlan Siamat dari Departemen Keuangan dan Mulya Siregar dari Bank Indonesia. ”RUU Perbankan Syariah sudah mulai dibahas sejak tahun 2005 dan sampai sekarang belum selesai. Sebenarnya tidak ada pertentangan ideologi dalam menyelesaikan peraturan tersebut. Kelambanan lebih disebabkan ketidakpahaman anggota DPR tentang konsep ekonomi Islam. Akibatnya, pembahasan selalu diwarnai perdebatan yang tidak esensial,” Nursanita.

Selain pemahaman yang minim, anggota DPR juga lebih antusias membahas RUU Pajak. Padahal, RUU Perbankan Syariah seharusnya mendapat prioritas karena perkembangannya sudah pesat.

”Sekarang kita masih menginduk pada UU Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perbankan yang membolehkan dual banking system. Mudah-mudahan akhir Juli ini, RUU Perbankan Syariah bisa selesai,” ujarnya.

RUU lain yang juga mendapat sorotan terkait ekonomi syariah adalah RUU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Peraturan ini menjadi landasan bagi penerbitan obligasi syariah (sukuk) milik pemerintah.

”Secara internasional, penerbitan sukuk terus meningkat. Tahun 2007 penjualan mencapai 15,7 miliar dollar AS. Tahun ini akan makin tinggi karena dua negara non-Muslim, Inggris dan Thailand, juga berencana menerbitkan sukuk,” kata Dahlan Siamat, Direktur Kebijakan Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan.

Di Indonesia, penerbitan sukuk baru dilakukan oleh korporasi. Tahun lalu nilainya mencapai Rp 3,23 triliun.

”Bagi negara, penerbitan sukuk sebenarnya sangat strategis untuk membiayai APBN. Permintaan pasar juga sedang tinggi. Karena itu, RUU SBSN sebagai payung hukum harus segera diselesaikan,” katanya.

Dahlan menambahkan bahwa masih terbatasnya instrumen keuangan syariah dan meningkatnya peringkat kredit Indonesia membuat SBSN sangat potensial untuk berkembang.

”Apalagi mayoritas penduduk kita juga Muslim sehingga produk SBSN akan lebih mudah diterima,” demikian ujar Dahlan Siamat. (ENY)